ASSALAMU'ALAIKUM WR. SELAMAT DATANG DI BLOG WINNER1COMMUNITY

Minggu, 27 Januari 2013

Pergeseran Makna "ANTA atau ANTUM"


Kalau Anda membuka kamus besar Bahasa Indonesia pada kata ’salah’, maka Anda akan menemukan salah satu penggunaannya terdapat pada kata ’salah kaprah’. Dan jika Anda teruskan membacanya, maka salah satu contoh salah kaprah itu adalah penggunaan kata ’kami’ untuk menggantikan kata ’aku’, dengan maksud untuk menghaluskan makna. Ringkas kata, menurut kamus tersebut, penggunaan kata ’kami’ untuk menghaluskan ’aku’ adalah salah kaprah.

Salah kaprah pengunaan kata ’kami’ dan ’aku’ dalam bahasa Indonesia itu kemudian merembet ke bahasa Arab.
Tetapi Arab yang made in Indonesia. Karena, hal itu memang tidak pernah kita temui di bahasa aslinya, yang dipakai di negara-negara berbahasa Arab, seperti Arab Saudi atau pun Mesir. Mereka tidak mengenal penggunaa kata ganti nahnu (kami) sebagai pengganti ana (aku). Dan antum (kalian) sebagai penganti anta (engkau).

Di kalangan mahasiswa Indonesia pengguna bahasa Arab – baik yang masih berada di Indonesia – maupun yang sudah berada di Mesir, sebagiannya masih menggunakan ungkapan itu. Misalnya, ketika berkata kepada gurunya ataupun orang yang dihormati. Mereka menggunakan kata ’antum’ untuk membahasakan ’Anda’. Karena khawatir kalau menggunakan ’anta’ (engkau) dianggap kasar.

Padahal dalam kaidah bahasa Arab tidak ada aturan seperti itu. Antum hanya digunakan untuk menyebut ’kalian’ yakni ’kamu’ tapi dalam jumlah yang lebih dari dua orang. Misalnya tiga orang atau lebih. Sehingga, kalau kita menggunakan kata ’antum’ untuk menyebut satu orang di Mesir, kita akan diketawai oleh orang Arab Mesir. ’’Hah, antum? Ana musy aktsar min itsnain..!’’ begitu kata orang Mesir. ’’Hah, antum. Saya kan tidak lebih dari dua orang..?’’

Orang Mesir, kalau ingin menghaluskan ungkapannya kepada seseorang yang dihormati, bukan dengan mengganti kata anta menjadi antum atau ana menjadi nahnu, melainkan dengan sebutan penghormatan, seperti: hadratuka disingkat menjadi hadratak atau Siyadatuka disingkat Siyadtak. Keduanya memiliki makna ’Anda yang terhormat’. Atau menambahkan sebutan penghormatan di belakang kata anta, seperti: anta, ya basya atau anta, ya sayyid.. yang bemakna engkau, wahai Tuan. Dan lain sebagainya.

Jangankan kepada manusia, kepada Allah pun mereka berdoa dengan menggunakan dhomir (kata ganti) anta, bukan antum. Misalnya, Allahumma anta salam waminka salam... (Ya Allah Engkaulah kedamaian dan dari Engkaulah bersumber kedamaian...). Atau kepada rasulullah SAW: assalamualaika ayyuhannabi ... (Kedamaian untukmu wahai Nabi ...) Begitulah memang, ketika sebutan itu hanya tertuju kepada satu orang, seperti saat kita berucap salam kepada Nabi dalam shalat.

Penggunaan kata ganti antum untuk menghaluskan anta, dan nahnu untuk menghaluskan ana dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Yakni, panjenengan untuk menggantikan kata ’kowe’ bagi orang yang dihormati. Dan kawula untuk menggantikan kata aku. Dalam bahasa Indonesia pun dikenal istilah ’Anda’ dan ’saya’, yang dianggap lebih halus dibandingkan ’kamu’ dan ’aku’.

Namun, dalam bahasa Arab tidak demikian. Bahasa Arab adalah bahasa yang egaliter dan menghargai kesederajatan dalam menggunakan kata ganti. Sehingga kata ganti ’ana’ (aku) akan berlaku untuk semua pelaku tunggal, sedangkan ’nahnu’ (kami) untuk pelaku jamak. Demikian pula ’anta’ (engkau) untuk tunggal, dan ’antum’ (kalian) untuk jamak. Karena itu, dalam ayat berikut ini meskipun Ibrahim berkata kepada Allah, dia tetap menggunakan kata ’aku’ dan ’Engkau’.

QS. Al Baqarah (2): 131

Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku berserah diri (aslamtu) kepada Tuhan semesta alam".

  QS. Al Baqarah (2): 260

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku (arini) bagaimana Engkau menghidupkan (tuhyi) orang mati" ...

Dalam bahasa Arab, ada lagi yang memiliki penerapan berbeda dengan bahasa Indonesia yakni Qala (berkata). Ini berlaku untuk siapa saja. Mulai dari orang awam, nabi dan rasul, bahkan Allah. Tetapi, dalam bahasa Indonesia dibedakan menjadi: kita berkata, Nabi bersabda, Allah berfirman. Tentu, kalau yang demikian ini dipaksakan akan terjadi pergeseran makna.

Berikut ini saya kutipkan ayat di atas selengkapnya, yang menunjukkan qala diterjemahkan dengan istilah yang berbeda-beda dalam bahasa Indonesia, menjadi: ’berkata’ dan ’berfirman’.

QS. Al Baqarah (2): 260

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata (qala): "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman (qala): "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab (qala): "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)". Allah berfirman (qala): "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cingcanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ada lagi kata ’wahyu’, yang dalam bahasa Indonesia tidak boleh digunakan sembarangan, kecuali untuk para nabi. Yakni, firman Allah yang disampaikan kepada Nabi dan Rasul. Orang yang lebih rendah derajatnya, tidak boleh menggunakan istilah ’wahyu’ karena akan dianggap menyetarakan diri dengan nabi. Untuk orang awam, paling tinggi hanya boleh menggunakan kata ’ilham, intuisi’ atau ’inspirasi’.

Padahal dalam al Qur’an, istilah ’wahyu’ adalah istilah umum yang digunakan kepada malaikat, nabi, orang biasa, lebah, dan alam semesta. Dalam kebanyakan kitab terjemah,’wahyu’ diterjemahkan dengan istilah ’ilham’ ketika digunakan untuk orang biasa. Ini disebabkan terbawa oleh rasa bahasa Indonesia tersebut.

QS. Al Anfaal (8): 12

(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan (yuhi) kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.

 QS. An Nahl (16): 123

Kemudian Kami wahyukan (auhaina) kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

QS. Al Maa-idah (5): 111

Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan (auhaitu) kepada pengikut `Isa yang setia: "Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku". Mereka menjawab: "Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)".

QS. Al Qashash (28): 7

Dan Kami ilhamkan (auhaina) kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.

 QS. An Nahl (16): 68

Dan Tuhanmu mewahyukan (auha) kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia".

QS. Fush shilat (41): 12

Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan (auha) pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

Maka, kita harus mengembalikan makna bahasa sesuai fungsi dalam bahasa aslinya, supaya tidak terjadi pergeseran makna yang terlalu jauh. Penggunaan kata ’Kami’ dan ’Aku’ sebagai kata ganti Allah adalah hal yang paling banyak dipertanyakan. Ada yang berpendapat bahwa penggunaan kata ’Kami’ oleh Allah adalah bermaksud untuk menghaluskan bahasa. Menurut saya ini kurang tepat. Masa, Allah menghaluskan bahasa kepada hamba-Nya. Mestinya, yang benar adalah hamba yang menghaluskan bahasa kepada Allah. Dari ’aku’ menjadi ’saya’ atau menjadi ’kawula’ (bhs Jawa).

Dan sebaliknya, mestinya seorang hamba menyebut Allah dengan ’antum’ sebagai pengganti kata ’anta’, jika memang konsisten dengan alasan penghalusan bahasa itu. Atau, ’Panjenengan’ untuk berkata-kata kepada Allah. Tetapi, para nabi tetap saja menggunakan kata ’anta’ untuk Allah. Dan al Qur’an sendiri pun menggunakan kata ganti tersebut secara egaliter, apa adanya dalam berbagai ayatnya.

Lantas, apa alasan penggunaan kata ’Kami’ dan ’Aku’ dalam al Qur’an? Menurut saya, kedua kata itu tetap berfungsi untuk menjelaskan kertelibatan pelaku secara ’jamak’ dan ’tunggal’. Dalam berbagai ayat-Nya, kita bisa merasakan, bahwa ketika Allah menggunakan kata ’Aku’, Dia memang sedang menunjukkan Otoritas tunggal-Nya. Tidak ada aktor lain, selain Diri-Nya. Bahkan, malaikat yang membantah pun ’tidak digubris-Nya’.

QS. Thaahaa (20): 14

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
  
QS. Al Baqarah (2): 30

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
  
QS. Al Baqarah (2): 33

Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

 QS. Al Baqarah (2): 40

Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).

Betapa kuatnya ’karakter’ yang Allah tampilkan dalam ayat-ayat di atas, untuk menunjukkan otoritas tunggal-Nya. Sedangkan penggunaan kata ’Kami’ menunjukkan Allah melibatkan makhluk dalam proses yang sedang diceritakan itu. Misalnya dalam menurunkan wahyu dan memelihara al Qur’an. Karena, Allah melibatkan malaikat untuk menyampaikan wahyu itu kepada para Rasul. Ataupun, ketika memelihara keotentikan Al Qur’an, Allah melibatkan para sahabat Nabi, para hafizh Qur’an, dan umat Islam yang peduli padanya.

QS. Al Baqarah (2): 23

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

 QS. Al Hijr (15): 9

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

 Atau ketika Allah menurunkan rezeki untuk hamba-Nya. Ada proses yang sangat kompleks yang melibatkan banyak faktor di sekitarnya. Allah tidak menurunkan rezeki kepada seseorang dengan cara langsung tanpa perantara. Selalu dilewatkan orang lain atau makhluk lain sebagai penyampai rezeki kepadanya.

QS. Al Hijr (15): 20-22

Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya. Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu. Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.

 Ataupun, saat menciptakan manusia, Allah juga menggunakan kata ’Kami’. Karena pada proses penciptaan manusia itu Allah menggunakan ’jasa’ orang tua kita, dokter dan bidan, serta ahli gizi, misalnya.
  
QS. Al Mukminun (23): 12-14

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan alaqoh (yang menempel di dinding rahim), lalu alaqoh itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
  
Namun, yang perlu kita pahamkan lebih jauh adalah dari sisi ketauhidan. Bahwa penggunaan kata ’Kami’ itu sama sekali tidak bermakna ’Allah banyak’. Karena, sebenarnya segala keanekaragaman isi alam semesta ini adalah sekedar tanda-tanda keberadaan Diri-Nya belaka. Bukankah Allah adalah Dzat yang Maha Meliputi segala? Bahkan yang paling kontradiksi sekali pun, semuanya berada di dalam Diri-Nya.

Sehingga semua Nama dan ’kata ganti’ untuk menyebut Diri-Nya sama sekali tidak memecah Dzat-Nya menjadi beberapa. Karena segala yang ada ini tidak lain adalah Dia semata. Laa ilaaha illallaah ~ Tidak ada segala ini, kecuali hanya Dia...!
  
QS. Al Hasyr : 22-23

Dia-lah Allah Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
  
Dia-lah Allah Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persepsikan.

  
Wallahu a’lam bishshawab

~ salam ~ 

9 komentar:

  1. kok, jadi ke arah paham sesat wihdatul wujud...

    BalasHapus
  2. Pemahaman bahasa jawa anda jg "salah kaprah"

    Pergeseran kata sbg pnghalusan utk yg d hormati dr "Nahnu" (kami) sbg pngganti "ana" (aku/saya) dan "antum" (kalian) sbg pnggnti "anta" (engkau) BUKAN d pengaruhi Bhs JAWA tapi Bhs MELAYU, krn; KAMU; AKU; SAYA; KALIAN; ENGKAU; adlh brasal dr kosa kata bahasa melayu, bhs melayu tdk memiliki level bhs yg d bagi brdsrkn "strata sosial" yaitu brdasarkn "umur"; muda dg yg tua (krama inggil), yg seumuran ato sebaya (krama ngoko), tua dg yg muda (krama andhap)

    "Kowe" (arti: anda/kamu, bkn kalian/antum) itu d ambil dr kosakata bahasa jawa "ngoko" (bhs jawa utk brbicara dg yg seumuran/sebaya) dan mrupakan kata ganti "TUNGGAL" bkn "JAMAK"

    Sedangkan,
    "Panjenengan" (arti: anda/kamu, jg bkn kalian/antum) itu d ambil dr bahasa jawa "krama inggil" (bhs jawa utk brbicara dg yg lbh tua/yg d hormati) dan jg mrupakan kt ganti "TUNGGAL" bkn "JAMAK"

    Jd "Kowe" atau "panjenengan" bkn "KALIAN" tp "ANDA/KAMU" artiny, jd BUKAN kata ganti "JAMAK" tp "TUNGGAL"

    BalasHapus
  3. Waaah alhamdulillah jadi faham ��

    BalasHapus
  4. Barakallah..
    Syukron Ustad Agus

    BalasHapus
  5. Orang Lebak Banten, mengganti kata "saya" dengan "kami"

    BalasHapus
  6. YA INI TIDAK PERLU DIPERDEBATKAN, INI MENJADI WAWASAN KITA SEMUA AGAR JANGAN ASAL TIRU MENIRU SAJA,AKAN TETAPI KITA CARI SUMBER DAN BERBAGAI REFERENSI, SEHINGGA NILAINYA LEBOH BERKWALITAS DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN. JIKA ANDA INGIN DIAKUI BENAR HARUS MAU MENGAKUI KEBENARAN YANG ADA PADA ORANG LAIN. PARA ULAMA KITA SUDAH SEPAKAT UNTUK TIDAK SEPAKAT. WASSALAM.

    BalasHapus
  7. Bagi seorang muslim dan muslimah sudah seharusnya Kita memiliki semangat dan ghirah dalam mempelajari bahasa arab. Terlebih lagi bahasa arab dan wasilah bagi kita dalam mengenal ilmu syari.
    Antum Artinya Aina Artinya Ufa Bunga SMartphone

    BalasHapus