ASSALAMU'ALAIKUM WR. SELAMAT DATANG DI BLOG WINNER1COMMUNITY

Minggu, 02 Maret 2014

Rezeki, Jodoh, dan Kematian

Kasus yang sering dijadikan contoh dalam memahami konsep takdir addalah rejeki, jodoh, dan kematian.  Inilah yang sering kali merancukan kepahaman umat Islam dengan konsep nasib.

Menurut konsep nasib - rejeki, jodoh, dan kematian- adalah ketetapan mutlak sebelum manusia dilahirkan.  Karena itu, kita tidak bisa menolaknya atau mengejarnya.

Rezeki seseorang sudah ditetapkan oleh Allah, maka apa pun yang terjadi, kita tidak bisa mengubah-ubah perolehan rezeki kita.

Sehebat apa pun usaha kita untuk mencari rejeki, kalau Allah sudah mentakdirkan miskin –sebelum kita lahir- maka miskin juga yang kita dapatkan.  Sebaliknya, kalau Allah sudah mentakdirkan kaya, semalas apapun kita, ya tetap bakal kaya.


Sungguh ini kesimpulan yang tidak bisa saya terima.  Tidak ada dalam kenyataan  hidup kta, juga tidak ada di dalam Al Qur’an.

QS. At Taubah (9) : 54

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak  menafkahkan  mereka, melainkan dengan rasa enggan.”

QS. Al Jumu’ah (62) : 10

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli . Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Allah mendorong hamba-hamba-NYA untuk berusaha maksimal.  Bukan hanya meminta dan berdo’a lewat shalat dan wirid-wirid.  “Bertebaranlah kamu di mika bumi, dan carilah karunia Allah, “ perintah-NYA tegas.
Selain itu, Allah memerintahkan untuk mencari kenikmatan dan kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi.  Karena, keduanya memang membentuk keseimbangan yang harmonis.  Jangan ditinggalkan salah satu.  Keduanya saling mendukung dan mempengaruhi.

QS. Al Qashash (28) : 77

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu  negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari  duniawi dan berbuat baiklah  sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di  bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Bagi orang yang mempunyai konsep nasib, mereka menganggap rezekinya sudah ditetapkan sejak sebelum mereka lahir.  Jadi, usaha tidak punya peranan di sini.

Padahal kenyataan di sekitar kita menunjukkan bahwa besar-kecilnya rezeki seseorang dipengaruhi oleh usaha yang dia lakukan.  Meskipun, belum tentu usaha itu memberikan hasil yang dia harapkan.  Banyak factor yang terlibat dalam mencapai hasil.

Namun yang jelas, rezeki seseorang manusia tidak mutlak ditetapkan sebelum kelahirannya.

Kalau begitu, nasib kaya atau miskin itu sudah ditetapkan atau belum? Jangan ragu.  Anda pasti ingin menjawab : “belum”.  Ya, ternyata setiap kita memiliki derajat ‘kebebasan tertentu’ untuk berusaha dan menentukan bakal punya rezeki atau tidak.

Wah, nasibku lagi mujur. “ kalimat ini sering menjebak pemahaman kita, bahwa seakan-akan segala sesuatunya telah ditetapkan sebelum kejadian.  Kenapa kadang kita merasakan “kemujuran” dan “kesialan”?  Sebetulnya, ini bukan karena nasib yang sudah ditetapkan sebelumnya, tetapi oleh situasi batin dan usaha yang kita lakukan.

Ada suatu ‘mekanisme kesuksesan’ yang bekerja di alam bawah sadar kita.  Jadi kesuksesan dalam hal rezeki bergantung kepada usaha dan kepintaran kita.  Meskipun tidak bersifat mutlak.  Realitas di sekitar kita membuktikan itu.  Dan Allah pun berfirman seperti itu dalam banyak ayat.

Tidak ada alasan yang mendukung secara meyakinkan bahwa rezeki yang kita terima telah ditentukan sebelumnya.  Karena itu, juga tidak ada alas an pembenar untuk mengatakan bahwa kita tidak perlu berusaha untuk mencari rezeki, karena rezeki itu bakal datang sendiri.  Ia sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta.

Bacalah ayat berikut, niscaya kita akan meyakini bahwa Allah ‘MENUNGGU’ usaha kita untuk menghasilkan kesuksesan kehidupan kita sendiri.

Sering kali kita menganggap dan terjebak pada kepahaman yang keliru, bahwa Allah menetapkan nasib kita tanpa dipengaruhi usaha kita, sementara, Allah berfirman, justru Allah bakal menetapkan takdir kita setelah melakukan usaha.

Jadi, kita mau ikut pendapat siapa?  Percaya pada firman Allah ataukah terjebak pada pendapat klasik yang sudah terlanjur kita percayai?

QS. Al Israa’ (17) : 18-20

“Dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya.”
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang , maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.”
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah  mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.”
“Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu  Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.”

QS. Ash Shaaffaat (37) : 61

“Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja"

Kita melihat dan membaca sendiri, betapa Allah sangat mendorong kita untuk berusaha dan bekerja.  Dalam urusan dunia maupun akhirat.  Tidak ada yang diberikan secara ‘cuma-Cuma’ tanpa usaha kita.

Kepada masing-masing golongan itu, kata Allah diberikan ‘bantuan’ berrdasarkan Kemurahan Allah.  Tapi, setelah kita melakukan usaha.  Kalau usaha kita tidak sesuaim ya kita bakal memperoleh hasil yang tidak maksimal.  Itu pun sudah berdasar kemurahan Allah.

Sering kali kita berfikir, Allah kan Maha Pemurah dan Maha Berkehendak, maka kalau Dia menghendaki kita dapat rezeki, ya pasti dapatlah, meskipun tanpa berusaha.

Ini sebenarnya menyalahi sunnatullah.  Darimana kesimpulan semacam ini?  Sementara Allah tidak mengajari demikian.  Allah mengajari kita untuk berusaha, barulah Allah membantu dengan Kemurahan-NYA.  Tidak pandang bulu.  Anda mau mengejar dunia diberi kesuksesan duniawi.  Anda mengejar akhirat juga diberi kesuksesan akhirat.  Anda mengejar dua-duanya, bakal diberi keduanya…

Dalam hal JODOH, tidak jauh berbeda.  Allah bukan menentukan sebelumnya.  Tapi sesuai dengan usaha yang kita lakukan.

Memang sering kali kita mendengar ungkapan :”Kalau memang jodoh tak akan lari kemana.”  Ini sungguh tidak mendidik.  Ungkapan ini seakan-akan mengatakan bahwa jodoh itu tidak perlu dicari dan diusahakan.  Nanti bakal datang sendiri.  Kenyataannya tidak demikian.  Orang yang tidak berusaha mencarinya, bakal tidak ketemu jodoh itu.  Orang yang tidak berusaha mencari jodoh yang baik, bakal ketemu jodoh yang jelek.

Maka kita melihat di sekitar kita, betapa banyaknya orang yang bertemu dengan jodoh yang jelek atau lebih fatal lagi tidak bertemu jodohnya.  Kita melihat begitu tingginya angka perceraian, karena mereka ketemu jodoh yang jelek, yang tidak bertanggung jawab, atau tidak cocok.

Kalau sudah begini lantas ada yang mengatakan dengan enteng : ah, dia memang bukan jodohku.  Lantas dia kawin lagi.  Nggak cocok, cerai lagi, kawin lagi.  Lalu, siapa sih sebenarnya jodohnya? Isteri pertama, ataukah kedua, atau lainnya?

Lagi-lagi kita menemukan kontradiksi dalam realitas kehidupan kita.  Jodoh bukanlah nasib yang sudah ditentukan sebelum kelahiran kita.  Allah menyuruh kita untuk berusaha.  Termasuk dalam hal ini mencari pasangan hidup.

Kata ‘jodoh’ dan ‘berjodoh’ tidak akan pernah anda temukan dalam Al Qur’an.  Perjodohan adalah sebuah ‘pilihan’ bukan sebuah ketetapan yang harus kita terima.  Anda bisa memilih apa saja dalam urusan perjodohan ini.

Kemudian masalah kematian.  Selama ini, kita juga berpendapat bahwa kematian kita sudah ditentukan oleh Allah sebelum kelahiran kita.  Baik yang berkaitan dengan waktu maupun cara matinya.

Dengan kata lain. Kita tidak bisa memilih panjang usia maupun cara mati kita.  Atau dengan kata lain lagi, merawat kesehatan maupun melalaikannya tak akan berpengaruh pada usia dan kesehatam kita?

Saya kira, kita telah jauh menyimpang tentang kepahaman takdir.  Takdir bukanlah nasib.  Takdir adalah takdir, yang ditetapkan oleh Allah berdasarkan usaha kita.

Allah sangat menghargai hamba-hama-NYA yang berusaha keras untuk mengejar kualitas hidup yanglebih tinggi.  Dan ‘tidak suka’ kepada orang-orang yang lalai, bermalas-malasan, apalagi berputus asa.

QS. Al Ankabuut (29) : 69

“Dan orang-orang yang berjihad untuk    Kami,  benar-benar   akan   Kami tunjukkan  kepada  mereka  jalan-jalan  Kami.  Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

QS. Al Hijr (15) : 56

“Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat".

Bahkan Allah juga melarang seseorang untuk bunuh diri.  Ini menunjukkan bahwa kematian seseorang bisa ‘diusahakan’ oleh seseorang.  Sebagaimana pula kesehatan bisa diusahakan.

Dengan kata lain, kalau Allah sudah menentukan kematian seseorang secara wajar, mestinya bagaimana pun seseorang melakukan usaha bunuh diri, ia tidak akan bisa terbunuh.  Tapi, karena ia bisa terbunuh, maka Allah pun melarang mereka untuk bunuh diri.

QS. An Nisaa’ (4) : 29

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Yang jelas, pada tulisan kali ini, saya Cuma ingin mengatakan bahwa takdir tidaklah sama dengan nasib.  Kita telah jauh menyimpang dari konsep takdir yang sebenarnya, dan kemudian membelenggu hidup kita sendiri dengan kepahaman-kepahaman yang tidak masuk akal.


Wallahu’alamu


Mengubah Takdir

1 komentar: