Kasus yang sering dijadikan
contoh dalam memahami konsep takdir addalah rejeki, jodoh, dan kematian. Inilah yang sering kali merancukan kepahaman
umat Islam dengan konsep nasib.
Menurut konsep nasib - rejeki, jodoh,
dan kematian- adalah ketetapan mutlak sebelum manusia dilahirkan. Karena itu, kita tidak bisa menolaknya atau
mengejarnya.
Rezeki seseorang sudah ditetapkan
oleh Allah, maka apa pun yang terjadi, kita tidak bisa mengubah-ubah perolehan
rezeki kita.
Sehebat apa pun usaha kita untuk
mencari rejeki, kalau Allah sudah mentakdirkan miskin –sebelum kita lahir- maka
miskin juga yang kita dapatkan. Sebaliknya,
kalau Allah sudah mentakdirkan kaya, semalas apapun kita, ya tetap bakal kaya.
Sungguh ini kesimpulan yang tidak
bisa saya terima. Tidak ada dalam
kenyataan hidup kta, juga tidak ada di
dalam Al Qur’an.
QS. At Taubah (9) : 54
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka
nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan
mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak menafkahkan
mereka, melainkan dengan rasa enggan.”
QS. Al Jumu’ah (62) : 10
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli . Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Allah mendorong hamba-hamba-NYA
untuk berusaha maksimal. Bukan hanya
meminta dan berdo’a lewat shalat dan wirid-wirid. “Bertebaranlah kamu di mika bumi, dan carilah
karunia Allah, “ perintah-NYA tegas.
Selain itu, Allah memerintahkan
untuk mencari kenikmatan dan kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi. Karena, keduanya memang membentuk
keseimbangan yang harmonis. Jangan
ditinggalkan salah satu. Keduanya saling
mendukung dan mempengaruhi.
QS. Al Qashash (28) : 77
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari duniawi dan berbuat
baiklah sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Bagi orang yang mempunyai konsep
nasib, mereka menganggap rezekinya sudah ditetapkan sejak sebelum mereka
lahir. Jadi, usaha tidak punya peranan
di sini.
Padahal kenyataan di sekitar kita
menunjukkan bahwa besar-kecilnya rezeki seseorang dipengaruhi oleh usaha yang
dia lakukan. Meskipun, belum tentu usaha
itu memberikan hasil yang dia harapkan.
Banyak factor yang terlibat dalam mencapai hasil.
Namun yang jelas, rezeki
seseorang manusia tidak mutlak ditetapkan sebelum kelahirannya.
Kalau begitu, nasib kaya atau
miskin itu sudah ditetapkan atau belum? Jangan ragu. Anda pasti ingin menjawab : “belum”.
Ya, ternyata setiap kita memiliki derajat ‘kebebasan tertentu’ untuk
berusaha dan menentukan bakal punya rezeki atau tidak.
“Wah, nasibku lagi mujur. “ kalimat ini sering menjebak pemahaman kita,
bahwa seakan-akan segala sesuatunya telah ditetapkan sebelum kejadian. Kenapa kadang kita merasakan “kemujuran” dan “kesialan”? Sebetulnya, ini bukan karena nasib yang sudah
ditetapkan sebelumnya, tetapi oleh situasi batin dan usaha yang kita lakukan.
Ada suatu ‘mekanisme kesuksesan’
yang bekerja di alam bawah sadar kita.
Jadi kesuksesan dalam hal rezeki bergantung kepada usaha dan kepintaran
kita. Meskipun tidak bersifat mutlak. Realitas di sekitar kita membuktikan
itu. Dan Allah pun berfirman seperti itu
dalam banyak ayat.
Tidak ada alasan yang mendukung
secara meyakinkan bahwa rezeki yang kita terima telah ditentukan sebelumnya. Karena itu, juga tidak ada alas an pembenar
untuk mengatakan bahwa kita tidak perlu berusaha untuk mencari rezeki, karena
rezeki itu bakal datang sendiri. Ia
sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Bacalah ayat berikut, niscaya
kita akan meyakini bahwa Allah ‘MENUNGGU’ usaha kita untuk menghasilkan
kesuksesan kehidupan kita sendiri.
Sering kali kita menganggap dan
terjebak pada kepahaman yang keliru, bahwa Allah menetapkan nasib kita tanpa dipengaruhi
usaha kita, sementara, Allah berfirman, justru Allah bakal menetapkan takdir
kita setelah melakukan usaha.
Jadi, kita mau ikut pendapat
siapa? Percaya pada firman Allah ataukah
terjebak pada pendapat klasik yang sudah terlanjur kita percayai?
QS. Al Israa’ (17) : 18-20
“Dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. Dan
cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya.”
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang , maka Kami segerakan
baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan
Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan
tercela dan terusir.”
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke
arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang
yang usahanya dibalasi dengan baik.”
“Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan
itu Kami berikan bantuan dari kemurahan
Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.”
QS. Ash Shaaffaat (37) : 61
“Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang
bekerja"
Kita melihat dan membaca sendiri,
betapa Allah sangat mendorong kita untuk berusaha dan bekerja. Dalam urusan dunia maupun akhirat. Tidak ada yang diberikan secara ‘cuma-Cuma’
tanpa usaha kita.
Kepada masing-masing golongan
itu, kata Allah diberikan ‘bantuan’ berrdasarkan Kemurahan Allah. Tapi, setelah kita melakukan usaha. Kalau usaha kita tidak sesuaim ya kita bakal
memperoleh hasil yang tidak maksimal.
Itu pun sudah berdasar kemurahan Allah.
Sering kali kita berfikir, Allah kan
Maha Pemurah dan Maha Berkehendak, maka kalau Dia menghendaki kita dapat
rezeki, ya pasti dapatlah, meskipun tanpa berusaha.
Ini sebenarnya menyalahi
sunnatullah. Darimana kesimpulan semacam
ini? Sementara Allah tidak mengajari
demikian. Allah mengajari kita untuk
berusaha, barulah Allah membantu dengan Kemurahan-NYA. Tidak pandang bulu. Anda mau mengejar dunia diberi kesuksesan
duniawi. Anda mengejar akhirat juga diberi
kesuksesan akhirat. Anda mengejar
dua-duanya, bakal diberi keduanya…
Dalam hal JODOH, tidak jauh
berbeda. Allah bukan menentukan
sebelumnya. Tapi sesuai dengan usaha
yang kita lakukan.
Memang sering kali kita mendengar
ungkapan :”Kalau memang jodoh tak akan lari kemana.” Ini sungguh tidak mendidik. Ungkapan ini seakan-akan mengatakan bahwa
jodoh itu tidak perlu dicari dan diusahakan.
Nanti bakal datang sendiri.
Kenyataannya tidak demikian.
Orang yang tidak berusaha mencarinya, bakal tidak ketemu jodoh itu. Orang yang tidak berusaha mencari jodoh yang
baik, bakal ketemu jodoh yang jelek.
Maka kita melihat di sekitar
kita, betapa banyaknya orang yang bertemu dengan jodoh yang jelek atau lebih
fatal lagi tidak bertemu jodohnya. Kita
melihat begitu tingginya angka perceraian, karena mereka ketemu jodoh yang
jelek, yang tidak bertanggung jawab, atau tidak cocok.
Kalau sudah begini lantas ada
yang mengatakan dengan enteng : ah, dia memang bukan jodohku. Lantas dia kawin lagi. Nggak cocok, cerai lagi, kawin lagi. Lalu, siapa sih sebenarnya jodohnya? Isteri
pertama, ataukah kedua, atau lainnya?
Lagi-lagi kita menemukan kontradiksi
dalam realitas kehidupan kita. Jodoh
bukanlah nasib yang sudah ditentukan sebelum kelahiran kita. Allah menyuruh kita untuk berusaha. Termasuk dalam hal ini mencari pasangan
hidup.
Kata ‘jodoh’ dan ‘berjodoh’ tidak
akan pernah anda temukan dalam Al Qur’an.
Perjodohan adalah sebuah ‘pilihan’ bukan sebuah ketetapan yang harus
kita terima. Anda bisa memilih apa saja
dalam urusan perjodohan ini.
Kemudian masalah kematian. Selama ini, kita juga berpendapat bahwa
kematian kita sudah ditentukan oleh Allah sebelum kelahiran kita. Baik yang berkaitan dengan waktu maupun cara
matinya.
Dengan kata lain. Kita tidak bisa
memilih panjang usia maupun cara mati kita.
Atau dengan kata lain lagi, merawat kesehatan maupun melalaikannya tak
akan berpengaruh pada usia dan kesehatam kita?
Saya kira, kita telah jauh
menyimpang tentang kepahaman takdir.
Takdir bukanlah nasib. Takdir adalah
takdir, yang ditetapkan oleh Allah berdasarkan usaha kita.
Allah sangat menghargai hamba-hama-NYA
yang berusaha keras untuk mengejar kualitas hidup yanglebih tinggi. Dan ‘tidak suka’ kepada orang-orang yang
lalai, bermalas-malasan, apalagi berputus asa.
QS. Al Ankabuut (29) : 69
“Dan orang-orang yang berjihad untuk
Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.”
QS. Al Hijr (15) : 56
“Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat
Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat".
Bahkan Allah juga melarang
seseorang untuk bunuh diri. Ini
menunjukkan bahwa kematian seseorang bisa ‘diusahakan’ oleh seseorang. Sebagaimana pula kesehatan bisa diusahakan.
Dengan kata lain, kalau Allah
sudah menentukan kematian seseorang secara wajar, mestinya bagaimana pun
seseorang melakukan usaha bunuh diri, ia tidak akan bisa terbunuh. Tapi, karena ia bisa terbunuh, maka Allah pun
melarang mereka untuk bunuh diri.
QS. An Nisaa’ (4) : 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Yang jelas, pada tulisan kali
ini, saya Cuma ingin mengatakan bahwa takdir tidaklah sama dengan nasib. Kita telah jauh menyimpang dari konsep takdir
yang sebenarnya, dan kemudian membelenggu hidup kita sendiri dengan kepahaman-kepahaman
yang tidak masuk akal.
Wallahu’alamu
Mengubah Takdir
Agen Sbobet
BalasHapusAgen Slot Terbaru
Nonton Movie Sub Indo