“Yang halal itu pasti, dan yang haram juga pasti. Namun, diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang meragukan. Maka barangsiapa jatuh ke dalam perkara syubhat, berarti jatuh ke dalam perkara haram.”
Kemudian, bagaimana sikap kita terhadap
hal-hal yang syubhat atau meragukan itu, lebih jelas tertuang dalam sebuah hadist lainnya :
“Tinggalkanlah yang meragukan untuk mengambil yang tidak meragukan.”
Namun, agama tidak untuk membelenggu manusia dalam kurungan fiqih semata-mata. Dan umat Islam tidak seharusnya mau terperangkap dalam kungkungan kotak-kotak yang menyeret manusia agar terbentur hanya pada dua pilihan, iman atau kafir. Islam adalah kearifan yang mengajak manusia untuk berfikir, berbicara, lalu memutuskan berdasarkan akal dan nurani. Karena itu, para sufi mendalami agama dengan landasan nilai-nilai sehingga terkadang mereka bersifat menyebal dari kebiasaan. Bukan untuk menempatkan diri mereka agar berbeda daripada kaum awam, melainkan lantaran keadaan dan adat istiadat yang mereka hadapi bertentangan dengan norma-norma asasi yang mereka yakini.
Celakannya, para sufi sering dituduh memperberat agama, atau memperingan agama, bergantung pada sejauh mana mereka berpendapat dan mengambil sikap. Padahal, masalahnya begitu remeh; pendirian mereka tidak sama dengan kebanyakan umat. Di jurusan itulah masyarakat seringkali lupa bahwa justru dalam perbedaan-perbedaan tersebut terdapat hikmah dan rahmat bagi kita semua.
Siapakan yang salah jika kata “LAMASA” dalam surah An Nisa ayat 42 bisa berarti “SANGGAMA” dan bisa pula “BERSETUBUH?” Imam Hanafi mengambil yang pertama, sedangkan Imam Syafi’I memilih makna yang kedua. Akibatnya sudah bisa ditebak. Imam Hanafi berpendapat, sentuhan laki-laki dengan perempuan saja tidak membatalkan wudhu karena yang membatalkan wudhu adalah bersetubuh. Adapun Imam Syafi’I berpendirian, diantara perkara yang membatalkan wudhu adalah persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan.
Masalah-masalah yang serupa akan banyak pula kita jumpai jika kita mau membuka diri terhadap persilangan pendapat di antara ahli Fiqih. Ada sejumlah ulama yang menyatakan bahwa anjing itu suci berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Umar. Lewat hadist itu diungkapkan, pada zaman nabi SAW anjing-anjing bebas keluar-masuk mesjid, dan tidak pernah diperintahkan membasuh bekasnya. Juga beralasan kepada surah Al Maidah ayat 4 yang artinya : “Dihalalkan bagimu untuk memakan binatang yang ditangkap anjing.” Sementara segolongan ulama lainnya berpendirian bahwa anjing itu najis, merujuk kepada hadist riwayat Muslim, tentang kewajiban membasuh bejana yang terjilat anjing sampai tujuh kali, salah satu diantaranya dicampur dengan tanah.
Itulah yang disebut soal-soal khilafiyah. Dan tidak salah terhadap perkara semacam itu jika seseorang memegangi mana saja yang dianggapnya meyakinkan. Tetapi juga tidak salah bila kebanyakan para sufi menyukai sikap menjauhkan diri dari perkara-perkara khilafiyah demi keselamatan agamanya dan ketentraman batinnya.
Jadi, layakkah kita beranggapan bahwa agama itu berat? Sudah pasti tidak. Sebab, Allah sendiri menegaskan :
“Allah menghendaki kemudahan atas kamu, dan Ia tidak menginginkan keberatan terhadap dirimu.” (Al Baqarah ; 185)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar