KOMPAS.com - Keterbatasan pendengaran
karena menyandang tuna rungu tak membuat Siti Nur Lathifah patah semangat
mengejar mimpi. Dengan penuh kerja keras, ia melewati masa-masa kritis akibat
minder dengan pendengarannya itu, sampai akhirnya meraih beasiswa Bidikmisi. Berkat
prestasinya, ia bisa bertemu langsung menteri dan presiden.
Siti Nur Lathifah adalah satu dari sekian banyak
kisah menarik dan inspiratif yang diceritakan di buku 'Kebangkitan Kaum Duafa'
pada acara silaturahim Bidikmisi di Jakarta, Kamis (27/2/2014) lalu. Buku itu
diserahkan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sepintas, penampilan gadis berkerudung setinggi
166 cm itu tak berbeda dengan perempuan lainnya. Wajahnya terlihat tak kurang
satu apapun. Perbedaan baru terlihat ketika dia berbicara. Tidak hanya bibirnya
yang bergerak, kedua tangannya pun ikut serta menerjemahkan tiap detail
kata-katanya.
Mahasiswi jurusan Seni Rupa di Universitas
Brawijaya, Malang, Jawa Timur, itu memang mengalami keterbatasan dalam
pendengaran. Tapi, keterbatasan fisik tersebut tak lantas membuat mahasiswi
angkatan 2011 ini berhenti berprestasi.
Perempuan asal Semarang yang lahir dari pasangan
Mulyono dan Munawaroh ini sangat menggemari dunia model. Dari dunia inilah ia
banyak mendulang prestasi.
Ia sebenarnya lahir seperti bayi normal pada
umumnya. Pendengarannya mengalami gangguan ketika berumur tujuh tahun. Dia
mengalami kecelakaan ketika bermain sepeda.
"Akibatnya, saya tidak bisa
mendengar," ujar Lathifah, panggilan akrab mahasiswi ini.
Lulus SMA, Lathifah merasa harus menghadapi perjuangan berat lainnya. Ia harus bisa meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi. |
Saat kecil, Lathifah sering ditinggal orangtuanya untuk
mencari nafkah. Bapaknya bekerja sebagai tukang bangunan, sementara ibunya
menjadi buruh toko sablon. Praktis, ia bermain tanpa pengawasan.
Sejak kecelakaan dan akibatnya itu, Lathifah
selalu berupaya menerima keterbatasan dirinya. Hanya, dia mengungkapkan, pernah
pada suatu masa dirinya sangat merasa minder. Puncaknya terjadi ketika dia
menginjak kelas X.
"Saya sangat minder, tidak percaya diri,
karena sering diejek teman-teman yang normal,” tutur Lathifah.
Lantaran sering mendapat ejekan, Lathifah
mengaku sempat marah dan kecewa kepada Tuhan. Tapi, banyak orang-orang di
sekelilingnya yang menguatkan dan memotivasinya. Kepala sekolahnya pun sering
mengajaknya mengikuti berbagai seminar motivasi.
Sampai akhirnya, sejak kelas XI, Lathifah lambat
laun sadar dan bisa menerima keadaan. Dia tak lagi fokus pada keterbatasan
dirinya, melainkan mulai menyibukkan diri dengan hobi, yaitu fesyen dan tata
rias.
Lathifah mulai banyak mengikuti dan memenangkan
lomba-lomba. Satu demi satu prestasi diraihnya. Secara bertahap, kepercayaan
dirinya bahkan kian menguat.
"Saya semakin mensyukuri anugerah Tuhan
yang dititipkan pada diri saya. Meskipun saya memiliki keterbatasan, tapi saya
bisa berprestasi," tuturnya.
Kuliah normal
Lulus SMA, Lathifah merasa harus menghadapi
perjuangan berat lainnya. Ia harus bisa meneruskan pendidikan ke jenjang lebih
tinggi, yaitu perguruan tinggi.
"Saya anak terakhir dari empat bersaudara.
Ketiga kakak laki-laki saya sudah menikah dan tidak ada yang kuliah,"
ungkapnya.
Lathifah mengaku maklum akan hal itu.
Penghasilan orangtuanya tak mencukupi untuk menyekolahkan keempat anaknya di
perguruan tinggi. Karena itulah, sejak awal, Lathifah menabung hadiah yang
diperolehnya setelah memenangi sejumlah lomba fesyen.
"Dari uang tabungan itulah saya bisa
mendaftar kuliah, dan alhamdulillah, saya mendapat bantuan Bidikmisi. Itu
sangat membantu dan meringankan beban orangtua saya," ucapnya.
Lathifah lalu memilih jurusan seni rupa di
Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Tak salah pilih, karena memang
itulah jurusan yang diinginkannya.
Ia juga mengaku bersykur, karena kakaknya
tinggal di kota itu. Lathifah pun lolos mengikuti setiap seleksi dan diterima
di kampus impiannya itu.
"Sebenarnya orangtua melarang saya untuk
pergi jauh dari Semarang," tuturnya.
Jalan hidup Lathifah pun berubah. Ia terus
memenangkan beragam lomba fesyen yang diikuti orang-orang "normal".
Ia mengaku, hanya dirinya peserta yang menderita tunarungu. Ia akui, semua itu
mengokohkan kepercayaan dirinya.
Namun, Lathifah berkisah, pencapaian terbesarnya
saat ini adalah bisa kuliah bersama mahasiswa yang normal. Sejak SD, Lathifah
selalu ditolak ketika ingin masuk sekolah umum. Akibatnya, ia selalu masuk
sekolah berkebutuhan khusus.
"Sekarang, saya bisa kuliah di dengan
orang-orang normal. Saya senang sekali," ucapnya.
Lathifah mengaku beruntung kuliah di kampus
tersebut. Pasalnya, ada sejumlah sukarelawan kerap membantu Lathifah
bersosialisasi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Sukarelawan itu
datang dari PSLD atau Pusat Studi dan Layanan Disabilitas.
"Tapi, selama ini, seperti di kelas, saya
dibantu oleh teman-teman di sekeliling saya," ucapnya.
Misalnya, ketua kelasnya banyak membantu
Lathifah dengan cara berbicara oral secara perlahan-lahan agar Lathifah bisa
membaca gerak bibirnya. Sebaliknya, teman-teman Lathifah belajar bahasa
isyarat.
"Jadi, kami sama-sama belajar dan sama-sama
mengerti," tuturnya.
Berangkat dari saling pengertian itulah,
Lathifah mengaku tidak banyak menemui kesulitan menuntut ilmu. Para dosennya
kebanyakan sudah tahu keadaan dirinya sehingga mereka bisa menyesuaikan diri
dengan dirinya. Ada dosen yang baik dan mau menerangkan dengan berbicara
pelan-pelan sehingga Lathifah bisa mengerti. Ketika ada hal atau kata tidak
dimengertinya, Lathifah langsung bertanya, baik kepada teman ataupun kepada
dosen langsung.
"Saya sering berdiskusi dengan dosen
terkait hal-hal yang tidak saya mengerti di perkuliahan. Alhamdulillah,
dosen-dosen banyak membantu," tuturnya.
Sejak awal, Lathifah menabung hadiah yang diperolehnya setelah memenangi sejumlah lomba fesyen |
Hobi dan ilmu
Pencapaian Lathifah dengan segala
keterbatasannya itu menarik program salah satu televisi swasta. Lathifah
didapuk menjadi narasumber di program Kick Andy. Ia
mengaku tak menyangka dijadikan narasumber, dan duduk di kursi depan (Kick Andy
edisi 13 Desember 2013).
Pada acara bertema Keterbatasan
Bukan Halangan itu, hadir lima narasumber lain yang semuanya
memiliki keterbatasan fisik. Mereka adalah Gede Ade Putra Herawan (tunarungu
wicara), Noni Kartika (SDLB/C, tuna grahita), dan Dwi Erwanti (penyandang cacat
kaki). Lathifah mengakui, sejak tayangan itulah banyak orang mengenal dirinya
dan mengaku termotivasi.
"Saya senang jika kehadiran saya dapat
menginspirasi orang lain," ucapnya.
Kini, Lathifah mulai merancang masa depan.
Setelah lulus kuliah, dia ingin menggabungkan hobi dan ilmu yang didapatnya di
bangku kuliah. Ia ingin menjadi desainer dan memiliki butik muslimah.
Lathifah berterima kasih kepada pemerintah yang
sudah membuat program Bidikmisi. Beasiswa ini membantu dirinya mewujudkan
cita-citanya. Dia berharap banyak rekannya, khususnya yang punya keterbatasan
ekonomi, tidak menyerah.
"Kalau orang yang tidak bisa mendengar saja
bisa, mengapa mereka tidak bisa. Kalau orang yang tidak bisa melihat saja bisa,
tentunya mereka juga lebih bisa," katanya.
Ihwal cara mengatasi keterbatasan, Lathifah
mengaku hal itu memang sulit, tapi bukan sesuatu yang mustahil dilakukan.
"Jangan fokus pada kelemahan atau
keterbatasan, tapi percayalah pada kekuatan diri, bahwa itu kelebihan yang
diberikan Tuhan," ujar Lathifah.
Lathifah juga mengaku, orang dengan keterbatasan
seperti dirinya tidak boleh malas.
"Ingatlah orangtua kita ketika malas
datang. Ingat jerih payah mereka, keringat mereka untuk membiayai kita. Itulah
yang akan membuat kita kembali bersemangat dan tidak lagi malas. Buatlah mereka
bangga!" ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar