ASSALAMU'ALAIKUM WR. SELAMAT DATANG DI BLOG WINNER1COMMUNITY

Jumat, 04 Januari 2013

Andaikata lebih panjang


Seperti yang telah biasa dilakukannya, ketika salah satu sahabatnya meninggal dunia, Rasulullah mengantar jenazahnya sampai ke kuburan.  Dan pada saat pulangnya disempatkannya singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan tawakkal menerima musibah itu.

Kemudian Rasulullah bertanya, “Tidakkah
almarhum mempunyai wasiat sebelum wafatnya?”
Isterinya menjawab, “Saya mendengar ia mengatakan sesuatu di antara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal.”

“Apa yang dikatakannya?”

“Saya tidak tahu, ya Rasulullah, apakah ucapannya itu sekedar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih karena dahsyatnya sakaratul maut.  Cuma, ucapannya memang sulit difahami lantaran kalimat yang terpotong-potong.”

“Bagaimana bunyinya?” desak Rasulullah.

Isteri yang setia itu menjawab, “Suami saya mengatakan ‘Andaikata lebih panjang lagi…..Andaikata yang masih baru…..Andaikata semuanya….’ Hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya.  Apakah perkataan-perkataan itu hanya igauan dalam keadaan tidak sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai?”

Rasulullah tersenyum, “Sungguh, yang diucapkannya itu tidak keliru, “ ujarnya.  “Kisahnya begini.  Pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke mesjid untuk melaksanakan shalat jum’at.  Di tengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama.  Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun.  Maka suamimu yang menuntunnya hingga tiba di masjid.  Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan pahala amal salehnya itu.  Lalu ia berkata, ‘Andaikata lebih panjang lagi’.  Maksudnya, andaikata jalan ke masjid lebih panjang lagi, pasti pahalanya lebih besar pula.”

“Ucapan lainnya, ya Rasulullah?” Tanya sang isteri mulai tertarik.

Nabi menjawab, “Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala ia melihat hasil perbuatannya yang lain.  Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan.  Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya.  Maka ia mencopot mantelnya yang lama dan diberikannya kepada lelaki tersebut.  Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya.  Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia menyesal dan berkata, ‘Coba, andaikata yang masih baru yang kuberikan kepadanya, dan bukannya mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi’.  Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.

“Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya ya Rasulullah?”

Dengan sabar Nabi menjelaskan, “Ingatkah kamu, pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan?  Engkau segera menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging dan mentega.  Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan.  Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikannya kepada musafir itu.  Dengan demikian, pada waktu suamimmu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalnya itu.  Karenanya, ia pun menyesal dan berkata ‘Kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak hanya kuberi separuh.”

Memang beginilah keadilan Tuhan.  Pada hakikatnya, apabila kita berbuat baik, sebetulnya kita juga yang beruntung, bukan orang lain.  Lantaran segala tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah.  Sama halnya jika kita berbuat buruk.  Akibatnya juga akan menimpa diri kita sendiri.  Karena itu Allah mengingatkan.

“Kalau kamu berbuat baik, sebenarnnya kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri.  Dan jika kamu berbuat buruk berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula” (QS. Al Israa’ : 7)

Dan Rasulullah SAW bersabda :


“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat kepada sesama manusia.”

Kumpulan Kisah Teladan - KH. Abdurrahman Arroisyi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar