Kelihatannya
sepele, sih.
Berwudhu
sangat berkaitan dengan yang namanya ‘mensucikan’ hati. Bukan sekedar mensucikan fisik belaka. Kenapa?
Saya jadi teringat sebelum terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang
mengajarkan kita tentang kondisi kejiwaan beliau sebelum menghadap Allah SWT.
Yang
dibersihkan pada peristiwa itu adalah “hati” Nabi Muhammad SAW dengan air yang
berasal dari sumur zam-zam dari segala “kekotoran yang merusak” dan mengisinya
dengan
“kebaikan-kebaikan”. Peristiwa ini
mengisyaratkan agar kita bisa khusyuk saat menghadap Allah SWT, menghadap
dengan hati yang bersih, agar niat kita menjadi mantab menyengajakan perbuatan
tingkah laku kita hanya kepada Allah SWT.
Barangkali,
itu pula yang menjadikan bersuci pada bab pertama dalam pelajaran ilmu fiqih
(menurut saya, sih. Nggak tahu kalau ada
pendapat yang lain).
Barangkali
ada pertanyaan, kenapa tidak mandi saja? Kan lebih bersih?... Nah dari sini
saya punya pendapat, ternyata berwudhu lebih bermakna pada pen’suci’an jiwa
kita. Lebih pada makna mensucikan jiwa ketimbang
raga. Lihat saja, kenapa kita harus
membersihkan muka, lengan (tangan sampai siku), kepala, sampai dengan mata
kaki. Anggota badan yang dibersihkan
tidak terkait langsung dengan hadast raga.
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan
jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.(QS. Al
Maaidah : 6)
Lalu jika
kita tidak menemukan air, maka kita bertayamum dengan menggunakan debu yang
bersih. Terpikirkah kita, bahwa yang
namanya debu, tetap saja debu, tidak bisa membersihkan anggota badan kita yang
kotor seperti halnya air. Dari situlah,
bahwa berwudhu dan bertayyamum (jika tidak ada air) lebih bermakna pada
mensucikan jiwa ketimbang raga. Bukan kotoran pada tubuhlah yang membatalkan
wudhu, melainkan kotoran pikiran yang ada dihati kita lah yang merusaknya. Yaitu
“kotoran-kotoran” yang lebih bersifat pada kejiwaan seperti contohnya menyentuh
kemaluan dan menyentuh wanita yang menimbulkan syahwat (pernah dengarkan, hadis
nabi tentang 2 orang yang bertanya tentang batal tidaknya mencium istri,
sementara jawaban yang diberikan oleh beliau berbeda?) ketiduran maupun tidak
sadarkan diri.
Makanya,
jika anggota tubuh kita yang terkena najis, tidak diperintahkan untuk
mengulangi wudhu kita, tetapi cukup membersihkannya dengan air.
Berkaitan
dengan pensucian jiwa, maka pada ayat diatas hal yang dilakukan adalah membasuh
muka kita. Sebab muka kita merupakan
suatu lambang gambaran pribadi kita, yang padanya di’hiasi’ dengan mata, mulut
dan hidung, yang padanya terdapat “kekotoran” dengan penglihatan, omongan, dan
penciuman yang bisa menyebabkan berbagai permasalahan dalam kehidupan kita,
yang akan kita hadapkan kepada Allah SWT, yang kita niatkan untuk mensucikan
seluruh diri kita lahir dan batin,
seperti yang kita ucapkan dalam do’a iftitah dan dalam surah Ar Ruum ayat 3
berikut :
Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui,
Tangan
merupakan gambaran dari hasil perbuatan kita, yang dengan berwudhu kita
berharap dijauhkan oleh Allah dari perbuatan yang buruk.
Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali. (Ar
Ruum : 41)
Kepala
merupakan symbol dari kendali kehidupan kita, yang didalamnya terdapat
otak. Di dalam otak lah timbul
fikiran-fikiran untuk berbuat. Dan
dengan wudhu, diharapkan kita selalu berfikiran positif, positif untuk
memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan kita dan lingkungan kita.
Kaki
merupakan symbol dari “arah” langkah kaki kita.
Dengan anggota badan yang kita sucikan, kaki kita diharapkan akan
melangkah membawa kesucian jiwa (lambang dari wajah) hasil perbuatan yang
bermanfaat (tangan) dan fikiran-fikiran yang suci (kepala) yang utuh sebagai
cermin dari pribadi fitrah kita sebagai mahluk Allah, yang ditugasi amanah
sebagai khalifah untuk mengelola alam semesta dengan sebaik-baiknya.
Hasil
akhirnya, diharapkan ketika shalat akan lebih khusyu’, dan penuh makna, baik
dalam dzikir maupun do’anya sebagai Mi’raj kita. Sehingga kita bisa memaknai bagaimana selama
dalam perjalanan kehidupan kita didunia ini bisa memilih “jalan” yang baik agar
kita bisa Mi’raj dengan sukses bertemu Allah, hingga kita bersatu kembali
denganNYA, sebagaimana ‘dulu’ kita belum diciptakan.
Wallahu’alam
bi sawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar